EDISI
MAHASISWA MENGAJI
Hari/ tanggal : Sabtu, 7 Juni 2014
Pukul :
14.00-16.00
Tempat :
Depan Perpus Pusat, UNNES
Pengisi :
Bapak Agung Kuswantoro
Peserta :
6 orang
Catatan :
KAIDAH-KAIDAH
USHUL FIQIH
tentang PERINTAH
F Pengertian
Al Amru
artinya menurut bahasa adalah perintah, suruhan, tuntunan. Jadi Al Amru
yang dimaksudkan dalam ushul fiqih adalah satu tuntutan untuk mengerjakan dari
juruan yang lebih tinggi terhadap yang lebih rendah. Sebagai contoh misalnya,
seorang bapak memerintahkan pada anaknya untuk membersihkan kamar, dalam hal
ini yang memerintahkan adalah ayah yang kedudukannya lebih tinggi daripada
anak.
F Beberapa
tentang Al Amru
1. Kaidah pertama:
“
Pada asalnya (setiap) perintah itu menunjukkan hukum wajib”.
Seperti yang sudah dijelaskan pada QS.
An-Nur: 63 bahwa ayat tersebut menunjukkan orang yang tidak mengindahkan
perintah Allah akan dikenakan ancaman di dunia dan azab di akhirat. Hal itu
menjelaskan bahwa asal perintah itu adalah WAJIB.
Disamping itu terdapat pula tanda-tanda yang menunjukkan ke
arah hal itu, antara lain:
a. Untuk Do’a
Sebagai
contoh firman Allah pada QS. Al Baqarah: 201 yang artinya “Ya Tuhan kami berilah kami kebaikan di dunia dan di akhirat”.
Kata-kata
“berilah” pada ayat tersebut
berbentuk perintah, tetapi karena ditujukan kepada Allah, maka tidak dapat
digolongkan perintah tetapi digolongkan pada Do’a.
b. Untuk ancaman
Sebagai
contoh firman Allah pada QS. Fussilat: 40 yang artinya “Perbuatlah apa yang kamu sukai”.
Kata
“perbuatlah” pada ayat tersebut
bukanlah perintah untuk mengerjakan apa saja, tetapi maksudnya adalah kalau
kamu berani berbuat sewenang-wenang akan mendapat ancaman nanti.
c. Untuk Memuliakan
Seperti
contoh firman Allah pada QS. Al Hijr: 46 yang artinya “masuklah ke dalamnya (surga) dengan sejahtera lagi aman”.
Kata
“masuklah” di ayat tersebut bukanlah
perintah benar-benar, tetapi maksudnya adalah mempersilahkan masuk surga,
sebagai tanda untuk memuliakan.
d. Untuk melemahkan
Sebagai
contoh pada firman Allah QS. Al Baqarah: 24 yang artinya “Buatlah satu surat saja semisal dengan Al-Qur’an itu”.
Kata
“buatlah” dalam ayat tersebut
bukan berarti perintah, tetapi sebagai
tantangan untuk melemahkan dakwaan orang kafir Quraisy bahwa Al-Qur’an itu
buatan manusia, bukan wahyu Allah.
e. Untuk menyerahkan
Sebagai
contoh adalah firman Allah pada QS. Thaha: 72 yang artinya “Maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan”.
Kata
“putuskanlah” dalam ayat tersebut
bukan berarti perintah. Kalimat tersebut adalah jawaban pengikut Nabi Musa
terhadap Fir’aun yang memutuskan suatu ancaman bila tetap mengikut Musa. Jadi
kata “putuskanlah” itu maksudnya adalah menyerahkan Fir’aun, apakah
dilaksanakan atau tidak ancaman tersebut.
f. Untuk kegusaran
Sebagai
contoh firman Allah pada QS. Ali Imran: 119 yang artinya “Matilah kamu karena kemarahan kamu itu”.
Kata
“matilah” di ayat tersebut
menunjukkan kegusaran terhadap orang kafir yang merasa benci pada orang mukmin
karena keimanannya. Jadi bukan perintah sebagai dalam pengertian Amru.
2. Kaidah Kedua:
“Pada
asalnya perintah itu tidak menunjukkan berulang-ulang”.
Maksudnya, suatu perintah tidak
menunjukkan bahwa kita harus mengerjakannya berulang kali tetapi cukup sekali.
Sebagai contoh perintah Allah untuk melakukan ibadah haji.
3. Kaidah Ketiga:
“Pada
asalnya perintah itu tidak menunjukkan segera”.
Maksudnya, bila ada suatu perintah, maka
perintah itu tidaklah mesti segera dilaksanakan pada waktu itu juga, karena
makna satu perintah adalah adnya pelaksanaan, tanpa terikat pada waktu
tertentu. Contohnya ketika Nabi Muhammad SAW melakukan Isra mi’raj di malam
hari, pada subuhnya tidak segera melaksanakan perintah sholat tersebut, tetapi
perintah sholat tersebut beliau laksanakan pada waktu dhuhur.
4. Kaidah Keempat:
“Perintah
mengerjakan sesuatu, berarti perintah pula mengerjakan wasilah-wasilahnya
(perantara)”.
Maksudnya, bila ada suatu perintah maka
segala kegiatan yang menunjang terlaksananya perintah tersebut, ikut dengan
sendirinya diperintah juga. Contohnya: wudlu dengan sholat.
5. Kaidah Kelima:
“Perintah
terhadap sesuatu berarti larangan terhadap dhid-nya (lawannya)”.
Maksudnya adalah bila ada perintah untuk
mengerjakan yang selainnya. Contohnya: “diperintahkan seseorang berdiri”, hal
itu berarti terlarang untuk duduk, tidur, dll.
6. Kaidah Keenam:
“Apabila
telah dikerjakan sesuatu perintah sesuai dengan jurusannya, berarti terlepaslah
perintah itu dari ikatan Amru”.
Sebagai contoh firman Allah yang
berbunyi “(...Kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah dengan debu
yang bersih...) QS. An Nisa: 43.
Maksudnya bila kita tidak mendapat air
untuk berwudhu, maka boleh bertayamum dengan debu yang bersih sebagai pengganti
air, dan bila setelah sholat bertemu air, maka sesuai dengan kaidah di atas,
tidak perlu di qadha lagi, karena dengan melakukan tayamum berarti telah
terlepas dari ikatan perintah wudlu.
7. Kaidah Ketujuh:
“Qadha
itu (harus) dengan perintah baru”.
Maksudnya bila kita meninggalkan suatu
perbuatan yang diperintah waktunya, maka kita tidak boleh meng-qadha-nya. Sebagai contoh bagi kaum
wanita yang meninggalkan shalat dan puasa karena haid dan nifas, hanya puasalah
yang wajib di qadha, sedang untuk sholat tidak ada qadha karena tidak ada dalil
yang memerintahkannya.
8. Kaidah Kedelapan:
“Suatu
perintah sesudah larangan memfaedahkan mubah”.
Maksudnya, bila ada suatu perintah sedang sebelumnya
ada larangan tentang hal tersebut, maka hukum sesuatu itu adalah mubah.
1 komentar:
How to play baccarat - The Best Baccarat Games | FEBCASINO
Play febcasino baccarat online with the best choegocasino bonuses, With all your favorite games, you've never 메리트 카지노 주소 thought of the classics yet!
Posting Komentar